Selasa, 07 Mei 2013
Gerimis
Seperti cerita pagi ini
Suara embun pagi bergelayutan mesra di ranting-ranting kehidupan
Rinai-rinai hujan luruh memeluk setia langkah insan manusia
Kuncup bunga mengecup manis kumbang yang tidur lelap dalam pembaringan
Usia bergerak pelan mematuhi aturannya
Menceritakan setiap alur kehidupan manusia
Gegap gempita suara bertalu dalam himpitan imaji
Samar namun bayangan itu smakin nyata
Berlari berkejaran dengan ego yang semakin membunuh
Kau hilang dalam canda ria khasmu
Termakan oleh gundah liar di luar sana
Mataku selalu memantau setiap gerikmu
Menyelami setiap jelaga suaramu
Lirikku ingin menyapa
Tapi enggan terhasut iriku
Seruan itu teramat kuat
Mengunci dalam kubangan tak terdamaikan
Sedikit langkah bijak yang bisa ku ambil
Menarik diriku dari garis terperih ini
Gerimis seakan berkhianat pada hujannya
Awan serempak kompak menutupi langit
Akupun menunduk pasrah
Bersandar setia pada setiap keputusan-Nya
Gerimispun menghiasi kelopak mataku
Minggu, 09 Desember 2012
Lihat Aku Sekali Lagi
Sunyi.
Gelap. Bagaikan ruangan kosong kedap suara yang tak bercahaya. Lemah tubuh ini
melawan kerasnya kehidupan yang harus kujalani. Semua terdiam. Membisu. Menutup
telinga. Tak pernah menyentuhku. Seolah terasingkan dari keramaian dunia. Tak pernah sekalipun aku merasakan keindahan
taman. Harumnya bunga mawar. Tak ada yang bisa kurasakan. Tubuhku seperti mayat
hidup. Rohku entah kemana melalangbuana.
Hanya
ruangan berukuran 4 x 5 m yang menjadi saksi cerita pahitku. Dan seorang yang
tidak kukenal rupanya seperti apa. Tapi, dari caranya menyentuhku aku yakin dia
seorang perempuan. Setiap hari dia memandikan tubuhku. Menyisir rambutku.
Menyuapiku. Entah siapalah dia. Sedikit harapan yang terbesit olehku. Masih ada
yang mau berbagi denganku. Sedikit mengobati kesendirianku. Awalnya aku pikir
dia wanita yang selalu mengajakku bermain di taman dulu. Awalnya aku pikir dia
wanita yang selalu membelikan bunga mawar di setiap aku ulang tahun. Bukan.
Bukan dia. Aku tahu bagaimana lembutnya tangannya ketika dia membelaiku. Aku
tahu seperti apa aroma tubuhnya. Perempuan yang selalu keluar masuk kamarku
tidak selembut tangannya dan aromanya pun berbeda. Dari situlah aku tahu kalau
perempuan itu bukan Dia.
Tiga
tahun yang lalu sebuah kecelakaan fatal menimpaku. Badanku yang kecil terjatuh
dari lantai dua rumah. Waktu itu kakiku tergelincir waktu menuruni anak tangga
dan tidak bisa menahan tubuhku, akhirnya aku jatuh dan “Praaaak”. Tidak
sadarkan diri. Dari situlah awal semua penderitaanku. Dokter memvonis aku tidak
bisa melihat, berbicara dan berjalan. Akibat benturan itu, urat-urat syarafku
terputus dan mengakibatkan semua penyakit itu mampir di kehidupanku.
Wanita
yang kukenal dulu lembut dan penuh kasih sayang berubah menjadi wanita yang tak
peduli sama sekali seiring perubahan yang kualami. Mama jadi dingin. Sekalipun
dia tidak pernah mencoba untuk masuk ke kamarku. Tidak pernah menyentuh
tubuhku. Dan, mungkin tidak pernah menanyakan kabarku.
Dulu
sebelum kejadian itu terjadi, mama sering mengajakku jalan-jalan ke taman
setiap minggu. Memetik bunga mawar yang berjejeran di taman itu sampai-sampai
penjaga taman mengejar-ngejar kami karena sebenarnya pengunjung taman dilarang
mengambil apapun dari taman termasuk bunga mawar itu.
Teringat
kembali dalam memoriku masa-masa indah itu yang sempat mati dalam kubangan
nestapa. Ingin aku berlari-lari di taman itu. Tidak mungkin. Ini hanya mimpi.
Semua kegalauan menyatu dalam heningnya malam itu.
Mama
seolah-olah tidak mengenaliku dan tidak pernah menganggap keberadaanku. Fisikku
yang berbeda dengan anak-anak normal lainnya mengubur semua mimpiku untuk
selalu bersama mama dan membahagiakannya. Aku yang berbeda tidak mampu untuk
berkata banyak. Keterbatasanku telah mengurungku. Rasanya ingin memberontak.
Tidak adil pikirku. Takdir. Apakah ini yang disebut takdir?. Apakah ini jalan
Tuhan untukku?. Apakah masih ada secuil doa yang bisa aku pinta? Jika iya,
tolong pertemukan aku dengan mama yang dulu. Aku kangen dengan belaian mama Tuhan.
Kangen dengan senyum mama. Kangen dengan sentuhan mama. Kangen dengan suara
mama. Aku kangen dengan semua itu Tuhan. Apa yang harus kulakukan untuk
memanggil mama kembali kepadaku.
###
Pagi ini, perempuan yang selalu
bolak balik ke kamarku mengantarkan sarapan. Dia membuka jendela. Aku tahu itu
karena aku bisa merasakan hembusan angin pagi menyentuh badanku. Kuambil sebuah
kertas yang sudah kuhapal dimana letakknya. Diikuti pulpen yang berada tidak
jauh dari kertas itu. Meski aku tidak bisa melihat tapi aku masih bisa menulis.
Entah tulisanku jelek atau tidak yang jelas tulisanku bisa di baca. Aku sudah
tahu huruf-huruf alfabet sejak berumur tiga tahun. Jadi, aku sudah tahu
bagaimana bentuk A B C dan seterusnya sampai huruf Z. “Mama mana”?. Kusodorkan
kertas itu kepada perempuan itu. Beberapa detik perempuan itu membisu sampai
akhirnya berkata “Nyonya sudah berangkat kerja pagi-pagi sekali tadi”. Huft,
jawaban yang sama selalu dia ucapkan ketika kupertanyakan ‘dimana mama’. Bosan
dengan jawaban-jawaban itu. Kuambil kembali kertas itu “Mama tidak pernah
menanyakan kabarku”?. Tanyaku lagi di atas kertas yang sama. Perempuan itu
diam. Bukan beberapa detik. Tapi, beberapa menit. “Tadi pagi, nyonya sempat
menanyakan kabar non”. Hanya mengangguk. Itulah reaksiku. Bukannya aku
mengangguk karena percaya, tapi aku mengangguk karena lelah dengan
kebohongan-kebohongan itu. Aku tahu kalau perempuan itu cuma berbohong. Dia
tidak ingin melihat aku larut dalam kesedihan kalau aku tahu mama tidak pernah
menanyakan perkembanganku.
Pagi begitu lambat berlalu. Terasa
lama bagiku. Hanya berbaring di tempat ini setiap hari. Bosan. Sakit kepala dan
sebagainya. Suara-suara jangkrik itu membuyarkan lamunanku. Suara jangkrik
menandakan malam sudah tiba. Begitulah caraku membedakan antara pagi dan malam.
Meski kedengarannya konyol sih karena suara jangkrik bisa saja terdengar kalau
pagi.
Dari balik ruangan 4 x 5 itu,
kudengar mama dan papa bertengkar hebat. Tak jelas apa yang mereka
pertengkarkan. Samar-samar suara mereka. Sempat aku menangkap satu kata dan
jelas sekali mama mengucapkannya. ‘Rani’. Ya.. mama menyebutkan namaku begitu
jelas. Dari situlah aku mengambil kesimpulan kalau mereka sedang
membicarakanku. Entah apa yang mereka bicarakan. Kucoba untuk mendekat di balik
pintu dengan menggunakan kursi roda yang letakknya tidak jauh dari tempat
tidur. Bi Mina sebutan untuk perempuan itu memang sengaja meletakkan kursi roda
di dekat tempat tidur supaya aku bisa meraihnya dengan mudah.
“Mama
mau Rina kita titipkan di panti asuhan. Mama malu pa kalau teman-teman mama
tahu keadaan Rina yang sebenarnya”. Sangat keras suara mama mengucapkan kalimat
itu.
“Papa
tidak setuju. Walaupun papa juga tidak mau memunculkan Rina di depan
rekan-rekan kerja papa, tapi panti asuhan bukan pilihan yang tepat ma”.
“Jadi
di mana kita harus titipkan Rina. Teman-teman mama seminggu lagi mau datang ke
sini”. Mama bertanya kepada papa
Hening.
Tidak ada suara lagi yang keluar dari mulut mereka.
“Di
rumah nenek saja” Usul papa membelah keheningan itu
Di balik pintu aku merasa sakit
sekali. Hatiku terasa teriris sembilan pisau tajam. Orang tua yang dulu amat
menyayangiku, kini mau membuangku dari kehidupan mereka. Mereka malu?. Malu
karena?. Karena fisikku?.
###
Hari ini, Bi Mina mengantarku ke
rumah nenek. Mama dan papa tidak ikut mengantar karena kesibukan mereka. Tidak
habis pikir bagiku. Mereka membiarkan aku pergi tanpa meninggalkan pesan apa
pun. Beruntung nenek menerima kehadiranku di rumah kayu sederhananya dengan
tangan terbuka. Nenek tinggal sendiri sejak satu tahun lalu ditinggal kakek. Di
sini kebahagiaan tersendiri aku dapatkan. Aku bisa merasakan nasi goreng buatan
nenek setiap pagi. Teh hangat yang selalu nenek buat untukku ketika musim
hujan.
Dua tahun berlalu. Tak ada kabar
dari mereka. Hanya bi Mina yang sekali-kali datang kemari mengantarkan uang
bulanan. Setelah itu pergi dan kembali mengabdi di majikannya. Sampai suatu
hari aku kembali di vonis oleh dokter. Leukimia. Mama dan Papa tidak tahu. Aku
melarang orang lain untuk memberitahukan hal ini kepada mereka. Aku
merahasiakan ini pada mereka.
Suatu malam. Rasa sakit yang
merembes sampai ke sendi-sendi tulangku membuatku merasakan sakit yang luar
biasa. Kupikir ini adalah detik-detik terakhirku. Aku sedih. Mama dan papa
tidak ada disampingku. Aku ingin memeluk mereka. Mencium kening mereka.
Membahagiakan mereka. Walaupun selama ini mama dan papa tidak pernah
menganggapku ada. Aku tetap sayang. Aku tetap menganggap mereka adalah orang
tua yang paling hebat. Tak ada rasa dendam sedikitpun yang terlintas di
benakku.
Hari Selasa. Hari terakhirku
menghirup segarnya udara pagi. Penyakit leukemia mengalahkan kekuatanku untuk
tetap bertahan. Sampai nafas terakhirku, mama dan papa tidak pernah muncul.
Mereka benar-benar sudah meniadakanku dari hidup mereka. Sempat aku menulis
surat dan menitipkan pada nenek untuk disampaikan kepada mama dan papa. Dalam
surat itu aku menulis
“Ma, pa yang Rina sayangi. Mungkin ini adalah
surat pertama dan surat terakhirku untuk mama dan papa. Tak akan ada lagi
surat-surat berikutnya. Dan mungkin ini adalah kabar pertama dan terakhir yang
bisa kuberitahukan pada mama dan papa.
Ketika membaca surat ini, mungkin Rina sudah melakukan perjalanan jauh
dan tidak akan pernah kembali. Rina cuma mau bilang kalau Rina sayang mama dan
papa. Rina kangen mama papa. Terima kasih atas semua kenangan indah yang pernah
mama dan papa berikan pada Rina. Terima kasih ma’ atas jalan-jalannya di taman
dan bunga mawarnya. Terima kasih pa’ atas perhatian papa selama ini. Meski
terasa singkat, tapi Rina akan mengingat semua itu. Akan kukenang masa-masa
itu. Akan kubawa cerita itu dalam perjalanan yang sedang kujalani sekarang.
Satu permintaan terakhirku ma’ pa’. Lihat aku sekali lagi. Lihat aku untuk yang
terakhir kalinya. Kutunggu kedatangan mama dan papa di pusaranku. Terima kasih
ma’ pa’. Aku selalu menyayangi kalian”
Kututup ceritaku dengan kedatangan
mama dan papa di pusaranku. Memenuhi permintaan terakhirku. Betapa bahagianya
aku melihat mama dan papa sudah bisa menerima anaknya yang tidak sempurna ini.
Setidaknya mama dan papa masih menganggapku anak mereka. Dari atas sini selalu
kupancarkan kebahagiaan bagi anak-anak yang memiliki keterbatasn. Keterbasan
yang kita miliki jangan sampai menghilangkan cinta dalam diri kita. Semuanya
karena cinta. Sekali lagi aku mencintai kalian. Aku menyayangi kalian mama dan
papa ku tersayang.
Minggu, 02 Desember 2012
Tak Harus Kumiliki
Telah
kau sematkan rumpun tak bertepi bersama secangkir rindu yang sulit
terlerai. Di ufuk senja kau menulis beberapa bait. Entah, apa yang kau
utarakan di setiap goresan senjamu waktu itu. Aku tak dapat meliriknya.
Satu huruf pun mataku
tak sanggup menjangkau setiap tetesan tintamu. Kau yang sedang duduk di
sana, menatap jauh di awan jingga. Sedang apakah gerangan dirimu?
Kenapa memandangiku seperti itu? Adakah yang salah denganku? Kau hanya
bisa melemparkan senyum termanismu. Senyum yang selalu terbalut dengan
dua lesung pipi yang melingkar indah. Dirimu bagaikan rumpun ilalang
yang tumbuh beranak pinak. Kau telah mengakar di setiap sudut-sudut
kedamaianku. Kau telah mengisi dengan setetes nektar di rongga-rongga
tak bertulang. Kau tahu apa artinya? Dirimu sudah meracuni hatiku yang
beku. Setiap hari kau memberiku satu sendok nektar sampai nektar-nektar
itu memenuhi ruang hampa itu.
Tak bosan diriku mengunyah setiap rumpun ilalang yang kau sodorkan padaku. Kau tahu kenapa? Ya, karena kau terlalu berarti bagiku.
“Terima kasih sudah menjadi pengisi lipur laraku,” ucapku malam itu.
Sudah hal lumrah kau selalu memberikan respon yang di awali dengan senyum mengembang.
“Sudah seharusnya aku menghibur orang yang aku sayangi. Hal terbodoh yang aku lakukan jika membiarkanmu larut dalam kesedihan,” akumu sembari menatapku dengan matamu yang berkilau.
“Maukah kau berjanji satu hal padaku?” pintaku tak melepaskan pandaganku
“Apa itu?” tanyamu dengan raut penasaran
“Maukah kau bersanding denganku di pelaminan nanti?” tanyaku dengan hati getar-getir. Takut kau memalingkan muka dan berkata TIDAK.
Sedikit aku ragu melihat perubahan raut mukamu. Senyummu yang selalu kau pamerkan di depanku menghilang entah kemana. Kau menunduk sejenak. Berpikir jawaban apa yang akan kau berikan padaku.
“Tentu aku mau,” janjimu memecah keraguanku. Tuhan terima kasih atas jawaban ini, ucapku membatin.
Sejak itu, rumpun ilalang dan nektar-nektar itu kau sajikan begitu apik. Berharap tak akan layu dan berubah rasa.
Suatu hari kau pamit padaku.
“Mas, aku ingin menemui orang tuaku yang ada di kampung. Mengabari rencana kita,” ujarmu saat itu
“Aku bisa mengantarmu jika kau menghendaki, bukankah aku memang harus bertemu dengan orang tuamu?”
“Tidak usah mas, nanti saya akan kabarkan kapan mas bisa bertandang ke rumah,” tolakmu dengan halus.
Kurelakan kau pergi. Menunggu kepastian kapan aku bisa meminangmu dan memintamu kepada orang tuamu. Rinduku selalu kutitipkan pada kicauan burung yang gemersik di antara rumpun bambu. Derai-derai hujan bersenandung ria di puncak malam. Menguak sejuta rasa. Dalam pembaringan kulihat dirimu tergopoh-gopoh menghampiriku. Ada apa gerangan dirimu? Berlari di tengah hujan lebat membawa selembar kertas. Apa arti semua ini? Aku terbangung. Memandangi di sekitarku. Tak ada. Kau tak ada di sini. Cuma mimpi.
Senja itu, di atas cakrawala persis di saat kau menulis seuntai bait-bait yang tak pernah kutahu apa isinya. Secarik kertas kuterima dari seseorang yang tak kutahu namanya. Mataku terperanjat membaca kalimat-kalimat itu. Inikah arti mimpi semalam?.
'Atas nama cinta, relakan aku untuk bersanding dengan pilihan orang tuaku. Maaf, aku tak bisa merajut cinta yang pernah kita susun bersama'. Sepenggal kalimat itu menggetarkan seluruh nadiku. Menghentikan peredaran darahku. Walau diakhir suratmu kau berkata 'Aku masih sayang kamu mas, tapi ini takdir hidupku yang harus aku terima'. Cinta yang kau sematkan dalam surat itu tak mampu melerai butiran-butiran air meluncur di pelupuk mataku. Mereka beradu seakan tak rela melihatmu duduk berdampingan dengan orang lain. Biarlah rumpun ilalang itu tetap mekar. Biarlah Nektar itu tetap menetes. Menjadi saksi bahwa aku tak pernah melupakanmu.
Tak bosan diriku mengunyah setiap rumpun ilalang yang kau sodorkan padaku. Kau tahu kenapa? Ya, karena kau terlalu berarti bagiku.
“Terima kasih sudah menjadi pengisi lipur laraku,” ucapku malam itu.
Sudah hal lumrah kau selalu memberikan respon yang di awali dengan senyum mengembang.
“Sudah seharusnya aku menghibur orang yang aku sayangi. Hal terbodoh yang aku lakukan jika membiarkanmu larut dalam kesedihan,” akumu sembari menatapku dengan matamu yang berkilau.
“Maukah kau berjanji satu hal padaku?” pintaku tak melepaskan pandaganku
“Apa itu?” tanyamu dengan raut penasaran
“Maukah kau bersanding denganku di pelaminan nanti?” tanyaku dengan hati getar-getir. Takut kau memalingkan muka dan berkata TIDAK.
Sedikit aku ragu melihat perubahan raut mukamu. Senyummu yang selalu kau pamerkan di depanku menghilang entah kemana. Kau menunduk sejenak. Berpikir jawaban apa yang akan kau berikan padaku.
“Tentu aku mau,” janjimu memecah keraguanku. Tuhan terima kasih atas jawaban ini, ucapku membatin.
Sejak itu, rumpun ilalang dan nektar-nektar itu kau sajikan begitu apik. Berharap tak akan layu dan berubah rasa.
Suatu hari kau pamit padaku.
“Mas, aku ingin menemui orang tuaku yang ada di kampung. Mengabari rencana kita,” ujarmu saat itu
“Aku bisa mengantarmu jika kau menghendaki, bukankah aku memang harus bertemu dengan orang tuamu?”
“Tidak usah mas, nanti saya akan kabarkan kapan mas bisa bertandang ke rumah,” tolakmu dengan halus.
Kurelakan kau pergi. Menunggu kepastian kapan aku bisa meminangmu dan memintamu kepada orang tuamu. Rinduku selalu kutitipkan pada kicauan burung yang gemersik di antara rumpun bambu. Derai-derai hujan bersenandung ria di puncak malam. Menguak sejuta rasa. Dalam pembaringan kulihat dirimu tergopoh-gopoh menghampiriku. Ada apa gerangan dirimu? Berlari di tengah hujan lebat membawa selembar kertas. Apa arti semua ini? Aku terbangung. Memandangi di sekitarku. Tak ada. Kau tak ada di sini. Cuma mimpi.
Senja itu, di atas cakrawala persis di saat kau menulis seuntai bait-bait yang tak pernah kutahu apa isinya. Secarik kertas kuterima dari seseorang yang tak kutahu namanya. Mataku terperanjat membaca kalimat-kalimat itu. Inikah arti mimpi semalam?.
'Atas nama cinta, relakan aku untuk bersanding dengan pilihan orang tuaku. Maaf, aku tak bisa merajut cinta yang pernah kita susun bersama'. Sepenggal kalimat itu menggetarkan seluruh nadiku. Menghentikan peredaran darahku. Walau diakhir suratmu kau berkata 'Aku masih sayang kamu mas, tapi ini takdir hidupku yang harus aku terima'. Cinta yang kau sematkan dalam surat itu tak mampu melerai butiran-butiran air meluncur di pelupuk mataku. Mereka beradu seakan tak rela melihatmu duduk berdampingan dengan orang lain. Biarlah rumpun ilalang itu tetap mekar. Biarlah Nektar itu tetap menetes. Menjadi saksi bahwa aku tak pernah melupakanmu.
Jumat, 30 November 2012
Kuawali dengan Bismillah
Dibalik tembok beton itu aku pernah merasakan kerasnya hidup
bersama segerombolan penjahat
Ini ulahku di masa suram
Kelam, tak ada arah, hingga akhirnya bisikan itu
menggerogoti nafsu dan otakku
Ratusan pil mengalir begitu bebas di sendi-sendi darahku
Hingga mengantarkanku di balik besi-besi terali itu
Terngiang tangisan wanita tua yang merintih kesakitan
Bukan karena sakit kepala, encok, asma dan lainnya
Tapi sakit karena penyesalan
Melihat anaknya terperangkap dalam lingkaran hitam
Penyesalan yang sama terkuak dalam sendi-sendi nadiku
Melihat anaknya terperangkap dalam lingkaran hitam
Penyesalan yang sama terkuak dalam sendi-sendi nadiku
Penyesalan itu kini terukir di langit jingga
Menjadi catatan kelam seorang pemakai
Bersama setumpuk rasa bersalah
Kucoba membangung kembali puing-puing iman yang sempat
runtuh
Merajut lubang-lubang dosa yang berlumuran nanah
Tertatih meniti masa depan
Ma, lihat anakmu
Berdiri di depanmu dengan rasa sesal
Dengan dunia baru setelah terasing begitu lama dari sisimu
Aku bangkit, berdiri, tersenyum
Sambil berkata kuawali kebebasanku dengan bismillah
Petikan Terakhir
Melodi tak beraturan turun di perut bumi
Rinai-rinai hujan turut bersenandung melengkapi setiap not
Menghibur penonton di ruang kosong
Hening
Kemana petikan indah itu?
Mata memandang sayu benda tak bernyawa itu
Tergeletak di atas panggung tak bertuah
Telinga tuli akan setiap melodi dan nada
November,
Hari terakhir sepuluh jemari ini memetik benda itu
Petikan terakhir di atas panggung megah
Melantunkan not-not merdu
Memetik melodi-melodi indah
Berlomba mendapat tepukan gemuruh dari penonton
“November kelabu” Istilahku untuk takdirku
Tangan yang dulu mampu menari ria di atas senar itu
Kini, lunglai dalam urat tak bernyawa
Petikan terakhirku di bulan November
Petikan terindah namun riuh dalam keheningan
Langganan:
Postingan (Atom)