Pembaca yang baik selalu meninggalkan komentar. Terima Kasih ^_^


widgeo.net

Minggu, 09 Desember 2012

Lihat Aku Sekali Lagi




Sunyi. Gelap. Bagaikan ruangan kosong kedap suara yang tak bercahaya. Lemah tubuh ini melawan kerasnya kehidupan yang harus kujalani. Semua terdiam. Membisu. Menutup telinga. Tak pernah menyentuhku. Seolah terasingkan dari keramaian dunia.  Tak pernah sekalipun aku merasakan keindahan taman. Harumnya bunga mawar. Tak ada yang bisa kurasakan. Tubuhku seperti mayat hidup. Rohku entah kemana melalangbuana.
Hanya ruangan berukuran 4 x 5 m yang menjadi saksi cerita pahitku. Dan seorang yang tidak kukenal rupanya seperti apa. Tapi, dari caranya menyentuhku aku yakin dia seorang perempuan. Setiap hari dia memandikan tubuhku. Menyisir rambutku. Menyuapiku. Entah siapalah dia. Sedikit harapan yang terbesit olehku. Masih ada yang mau berbagi denganku. Sedikit mengobati kesendirianku. Awalnya aku pikir dia wanita yang selalu mengajakku bermain di taman dulu. Awalnya aku pikir dia wanita yang selalu membelikan bunga mawar di setiap aku ulang tahun. Bukan. Bukan dia. Aku tahu bagaimana lembutnya tangannya ketika dia membelaiku. Aku tahu seperti apa aroma tubuhnya. Perempuan yang selalu keluar masuk kamarku tidak selembut tangannya dan aromanya pun berbeda. Dari situlah aku tahu kalau perempuan itu bukan Dia.
Tiga tahun yang lalu sebuah kecelakaan fatal menimpaku. Badanku yang kecil terjatuh dari lantai dua rumah. Waktu itu kakiku tergelincir waktu menuruni anak tangga dan tidak bisa menahan tubuhku, akhirnya aku jatuh dan “Praaaak”. Tidak sadarkan diri. Dari situlah awal semua penderitaanku. Dokter memvonis aku tidak bisa melihat, berbicara dan berjalan. Akibat benturan itu, urat-urat syarafku terputus dan mengakibatkan semua penyakit itu mampir di kehidupanku.
Wanita yang kukenal dulu lembut dan penuh kasih sayang berubah menjadi wanita yang tak peduli sama sekali seiring perubahan yang kualami. Mama jadi dingin. Sekalipun dia tidak pernah mencoba untuk masuk ke kamarku. Tidak pernah menyentuh tubuhku. Dan, mungkin tidak pernah menanyakan kabarku.
Dulu sebelum kejadian itu terjadi, mama sering mengajakku jalan-jalan ke taman setiap minggu. Memetik bunga mawar yang berjejeran di taman itu sampai-sampai penjaga taman mengejar-ngejar kami karena sebenarnya pengunjung taman dilarang mengambil apapun dari taman termasuk bunga mawar itu.
Teringat kembali dalam memoriku masa-masa indah itu yang sempat mati dalam kubangan nestapa. Ingin aku berlari-lari di taman itu. Tidak mungkin. Ini hanya mimpi. Semua kegalauan menyatu dalam heningnya malam itu.
Mama seolah-olah tidak mengenaliku dan tidak pernah menganggap keberadaanku. Fisikku yang berbeda dengan anak-anak normal lainnya mengubur semua mimpiku untuk selalu bersama mama dan membahagiakannya. Aku yang berbeda tidak mampu untuk berkata banyak. Keterbatasanku telah mengurungku. Rasanya ingin memberontak. Tidak adil pikirku. Takdir. Apakah ini yang disebut takdir?. Apakah ini jalan Tuhan untukku?. Apakah masih ada secuil doa yang bisa aku pinta? Jika iya, tolong pertemukan aku dengan mama yang dulu. Aku kangen dengan belaian mama Tuhan. Kangen dengan senyum mama. Kangen dengan sentuhan mama. Kangen dengan suara mama. Aku kangen dengan semua itu Tuhan. Apa yang harus kulakukan untuk memanggil mama kembali kepadaku.
###
            Pagi ini, perempuan yang selalu bolak balik ke kamarku mengantarkan sarapan. Dia membuka jendela. Aku tahu itu karena aku bisa merasakan hembusan angin pagi menyentuh badanku. Kuambil sebuah kertas yang sudah kuhapal dimana letakknya. Diikuti pulpen yang berada tidak jauh dari kertas itu. Meski aku tidak bisa melihat tapi aku masih bisa menulis. Entah tulisanku jelek atau tidak yang jelas tulisanku bisa di baca. Aku sudah tahu huruf-huruf alfabet sejak berumur tiga tahun. Jadi, aku sudah tahu bagaimana bentuk A B C dan seterusnya sampai huruf Z. “Mama mana”?. Kusodorkan kertas itu kepada perempuan itu. Beberapa detik perempuan itu membisu sampai akhirnya berkata “Nyonya sudah berangkat kerja pagi-pagi sekali tadi”. Huft, jawaban yang sama selalu dia ucapkan ketika kupertanyakan ‘dimana mama’. Bosan dengan jawaban-jawaban itu. Kuambil kembali kertas itu “Mama tidak pernah menanyakan kabarku”?. Tanyaku lagi di atas kertas yang sama. Perempuan itu diam. Bukan beberapa detik. Tapi, beberapa menit. “Tadi pagi, nyonya sempat menanyakan kabar non”. Hanya mengangguk. Itulah reaksiku. Bukannya aku mengangguk karena percaya, tapi aku mengangguk karena lelah dengan kebohongan-kebohongan itu. Aku tahu kalau perempuan itu cuma berbohong. Dia tidak ingin melihat aku larut dalam kesedihan kalau aku tahu mama tidak pernah menanyakan perkembanganku.
            Pagi begitu lambat berlalu. Terasa lama bagiku. Hanya berbaring di tempat ini setiap hari. Bosan. Sakit kepala dan sebagainya. Suara-suara jangkrik itu membuyarkan lamunanku. Suara jangkrik menandakan malam sudah tiba. Begitulah caraku membedakan antara pagi dan malam. Meski kedengarannya konyol sih karena suara jangkrik bisa saja terdengar kalau pagi.
            Dari balik ruangan 4 x 5 itu, kudengar mama dan papa bertengkar hebat. Tak jelas apa yang mereka pertengkarkan. Samar-samar suara mereka. Sempat aku menangkap satu kata dan jelas sekali mama mengucapkannya. ‘Rani’. Ya.. mama menyebutkan namaku begitu jelas. Dari situlah aku mengambil kesimpulan kalau mereka sedang membicarakanku. Entah apa yang mereka bicarakan. Kucoba untuk mendekat di balik pintu dengan menggunakan kursi roda yang letakknya tidak jauh dari tempat tidur. Bi Mina sebutan untuk perempuan itu memang sengaja meletakkan kursi roda di dekat tempat tidur supaya aku bisa meraihnya dengan mudah.
“Mama mau Rina kita titipkan di panti asuhan. Mama malu pa kalau teman-teman mama tahu keadaan Rina yang sebenarnya”. Sangat keras suara mama mengucapkan kalimat itu.
“Papa tidak setuju. Walaupun papa juga tidak mau memunculkan Rina di depan rekan-rekan kerja papa, tapi panti asuhan bukan pilihan yang tepat ma”.
“Jadi di mana kita harus titipkan Rina. Teman-teman mama seminggu lagi mau datang ke sini”. Mama bertanya kepada papa
Hening. Tidak ada suara lagi yang keluar dari mulut mereka.
“Di rumah nenek saja” Usul papa membelah keheningan itu
            Di balik pintu aku merasa sakit sekali. Hatiku terasa teriris sembilan pisau tajam. Orang tua yang dulu amat menyayangiku, kini mau membuangku dari kehidupan mereka. Mereka malu?. Malu karena?. Karena fisikku?.
###
            Hari ini, Bi Mina mengantarku ke rumah nenek. Mama dan papa tidak ikut mengantar karena kesibukan mereka. Tidak habis pikir bagiku. Mereka membiarkan aku pergi tanpa meninggalkan pesan apa pun. Beruntung nenek menerima kehadiranku di rumah kayu sederhananya dengan tangan terbuka. Nenek tinggal sendiri sejak satu tahun lalu ditinggal kakek. Di sini kebahagiaan tersendiri aku dapatkan. Aku bisa merasakan nasi goreng buatan nenek setiap pagi. Teh hangat yang selalu nenek buat untukku ketika musim hujan.
            Dua tahun berlalu. Tak ada kabar dari mereka. Hanya bi Mina yang sekali-kali datang kemari mengantarkan uang bulanan. Setelah itu pergi dan kembali mengabdi di majikannya. Sampai suatu hari aku kembali di vonis oleh dokter. Leukimia. Mama dan Papa tidak tahu. Aku melarang orang lain untuk memberitahukan hal ini kepada mereka. Aku merahasiakan ini pada mereka.
            Suatu malam. Rasa sakit yang merembes sampai ke sendi-sendi tulangku membuatku merasakan sakit yang luar biasa. Kupikir ini adalah detik-detik terakhirku. Aku sedih. Mama dan papa tidak ada disampingku. Aku ingin memeluk mereka. Mencium kening mereka. Membahagiakan mereka. Walaupun selama ini mama dan papa tidak pernah menganggapku ada. Aku tetap sayang. Aku tetap menganggap mereka adalah orang tua yang paling hebat. Tak ada rasa dendam sedikitpun yang terlintas di benakku.
            Hari Selasa. Hari terakhirku menghirup segarnya udara pagi. Penyakit leukemia mengalahkan kekuatanku untuk tetap bertahan. Sampai nafas terakhirku, mama dan papa tidak pernah muncul. Mereka benar-benar sudah meniadakanku dari hidup mereka. Sempat aku menulis surat dan menitipkan pada nenek untuk disampaikan kepada mama dan papa. Dalam surat itu aku menulis
Ma, pa yang Rina sayangi. Mungkin ini adalah surat pertama dan surat terakhirku untuk mama dan papa. Tak akan ada lagi surat-surat berikutnya. Dan mungkin ini adalah kabar pertama dan terakhir yang bisa kuberitahukan pada mama dan papa.  Ketika membaca surat ini, mungkin Rina sudah melakukan perjalanan jauh dan tidak akan pernah kembali. Rina cuma mau bilang kalau Rina sayang mama dan papa. Rina kangen mama papa. Terima kasih atas semua kenangan indah yang pernah mama dan papa berikan pada Rina. Terima kasih ma’ atas jalan-jalannya di taman dan bunga mawarnya. Terima kasih pa’ atas perhatian papa selama ini. Meski terasa singkat, tapi Rina akan mengingat semua itu. Akan kukenang masa-masa itu. Akan kubawa cerita itu dalam perjalanan yang sedang kujalani sekarang. Satu permintaan terakhirku ma’ pa’. Lihat aku sekali lagi. Lihat aku untuk yang terakhir kalinya. Kutunggu kedatangan mama dan papa di pusaranku. Terima kasih ma’ pa’. Aku selalu menyayangi kalian”
            Kututup ceritaku dengan kedatangan mama dan papa di pusaranku. Memenuhi permintaan terakhirku. Betapa bahagianya aku melihat mama dan papa sudah bisa menerima anaknya yang tidak sempurna ini. Setidaknya mama dan papa masih menganggapku anak mereka. Dari atas sini selalu kupancarkan kebahagiaan bagi anak-anak yang memiliki keterbatasn. Keterbasan yang kita miliki jangan sampai menghilangkan cinta dalam diri kita. Semuanya karena cinta. Sekali lagi aku mencintai kalian. Aku menyayangi kalian mama dan papa ku tersayang.







Minggu, 02 Desember 2012

Tak Harus Kumiliki

Telah kau sematkan rumpun tak bertepi bersama secangkir rindu yang sulit terlerai. Di ufuk senja kau menulis beberapa bait. Entah, apa yang kau utarakan di setiap goresan senjamu waktu itu. Aku tak dapat meliriknya. Satu huruf pun mataku tak sanggup menjangkau setiap tetesan tintamu. Kau yang sedang duduk di sana, menatap jauh di awan jingga. Sedang apakah gerangan dirimu? Kenapa memandangiku seperti itu? Adakah yang salah denganku? Kau hanya bisa melemparkan senyum termanismu. Senyum yang selalu terbalut dengan dua lesung pipi yang melingkar indah. Dirimu bagaikan rumpun ilalang yang tumbuh beranak pinak. Kau telah mengakar di setiap sudut-sudut kedamaianku. Kau telah mengisi dengan setetes nektar di rongga-rongga tak bertulang. Kau tahu apa artinya? Dirimu sudah meracuni hatiku yang beku. Setiap hari kau memberiku satu sendok nektar sampai nektar-nektar itu memenuhi ruang hampa itu.
Tak bosan diriku mengunyah setiap rumpun ilalang yang kau sodorkan padaku. Kau tahu kenapa? Ya, karena kau terlalu berarti bagiku.
“Terima kasih sudah menjadi pengisi lipur laraku,” ucapku malam itu.
Sudah hal lumrah kau selalu memberikan respon yang di awali dengan senyum mengembang.
“Sudah seharusnya aku menghibur orang yang aku sayangi. Hal terbodoh yang aku lakukan jika membiarkanmu larut dalam kesedihan,” akumu sembari menatapku dengan matamu yang berkilau.
“Maukah kau berjanji satu hal padaku?” pintaku tak melepaskan pandaganku
“Apa itu?” tanyamu dengan raut penasaran
“Maukah kau bersanding denganku di pelaminan nanti?” tanyaku dengan hati getar-getir. Takut kau memalingkan muka dan berkata TIDAK.
Sedikit aku ragu melihat perubahan raut mukamu. Senyummu yang selalu kau pamerkan di depanku menghilang entah kemana. Kau menunduk sejenak. Berpikir jawaban apa yang akan kau berikan padaku.
“Tentu aku mau,” janjimu memecah keraguanku. Tuhan terima kasih atas jawaban ini, ucapku membatin.
Sejak itu, rumpun ilalang dan nektar-nektar itu kau sajikan begitu apik. Berharap tak akan layu dan berubah rasa.
Suatu hari kau pamit padaku.
“Mas, aku ingin menemui orang tuaku yang ada di kampung. Mengabari rencana kita,” ujarmu saat itu
“Aku bisa mengantarmu jika kau menghendaki, bukankah aku memang harus bertemu dengan orang tuamu?”
“Tidak usah mas, nanti saya akan kabarkan kapan mas bisa bertandang ke rumah,” tolakmu dengan halus.
Kurelakan kau pergi. Menunggu kepastian kapan aku bisa meminangmu dan memintamu kepada orang tuamu. Rinduku selalu kutitipkan pada kicauan burung yang gemersik di antara rumpun bambu. Derai-derai hujan bersenandung ria di puncak malam. Menguak sejuta rasa. Dalam pembaringan kulihat dirimu tergopoh-gopoh menghampiriku. Ada apa gerangan dirimu? Berlari di tengah hujan lebat membawa selembar kertas. Apa arti semua ini? Aku terbangung. Memandangi di sekitarku. Tak ada. Kau tak ada di sini. Cuma mimpi.
Senja itu, di atas cakrawala persis di saat kau menulis seuntai bait-bait yang tak pernah kutahu apa isinya. Secarik kertas kuterima dari seseorang yang tak kutahu namanya. Mataku terperanjat membaca kalimat-kalimat itu. Inikah arti mimpi semalam?.
'Atas nama cinta, relakan aku untuk bersanding dengan pilihan orang tuaku. Maaf, aku tak bisa merajut cinta yang pernah kita susun bersama'. Sepenggal kalimat itu menggetarkan seluruh nadiku. Menghentikan peredaran darahku. Walau diakhir suratmu kau berkata 'Aku masih sayang kamu mas, tapi ini takdir hidupku yang harus aku terima'. Cinta yang kau sematkan dalam surat itu tak mampu melerai butiran-butiran air meluncur di pelupuk mataku. Mereka beradu seakan tak rela melihatmu duduk berdampingan dengan orang lain. Biarlah rumpun ilalang itu tetap mekar. Biarlah Nektar itu tetap menetes. Menjadi saksi bahwa aku tak pernah melupakanmu.

Jumat, 30 November 2012

Kuawali dengan Bismillah


Dibalik tembok beton itu aku pernah merasakan kerasnya hidup bersama segerombolan penjahat
Ini ulahku di masa suram
Kelam, tak ada arah, hingga akhirnya bisikan itu menggerogoti nafsu dan otakku
Ratusan pil mengalir begitu bebas di sendi-sendi darahku
Hingga mengantarkanku di balik besi-besi terali itu

Terngiang tangisan wanita tua yang merintih kesakitan
Bukan karena sakit kepala, encok, asma dan lainnya
Tapi sakit karena penyesalan
Melihat anaknya terperangkap dalam lingkaran hitam
Penyesalan yang sama terkuak dalam sendi-sendi nadiku

Penyesalan itu kini terukir di langit jingga
Menjadi catatan kelam seorang pemakai
Bersama setumpuk rasa bersalah
Kucoba membangung kembali puing-puing iman yang sempat runtuh
Merajut lubang-lubang dosa yang berlumuran nanah
Tertatih meniti masa depan

Ma, lihat anakmu
Berdiri di depanmu dengan rasa sesal
Dengan dunia baru setelah terasing begitu lama dari sisimu
Aku bangkit, berdiri, tersenyum
Sambil berkata kuawali kebebasanku dengan bismillah  

Petikan Terakhir




Gerimis berdendang riuh
Melodi tak beraturan turun di perut bumi
Rinai-rinai hujan turut bersenandung melengkapi setiap not
Menghibur penonton di ruang kosong
Hening
Kemana petikan indah itu?

Mata memandang sayu benda tak bernyawa itu
Tergeletak di atas panggung tak bertuah
Telinga tuli akan setiap melodi dan nada

November,
Hari terakhir sepuluh jemari ini memetik benda itu
Petikan terakhir di atas panggung megah
Melantunkan not-not merdu
Memetik melodi-melodi indah
Berlomba mendapat tepukan gemuruh dari penonton
“November kelabu” Istilahku untuk takdirku
Tangan yang dulu mampu menari ria di atas senar itu
Kini, lunglai dalam urat tak bernyawa
Petikan terakhirku di bulan November
Petikan terindah namun riuh dalam keheningan