Pembaca yang baik selalu meninggalkan komentar. Terima Kasih ^_^


widgeo.net

Minggu, 02 Desember 2012

Tak Harus Kumiliki

Telah kau sematkan rumpun tak bertepi bersama secangkir rindu yang sulit terlerai. Di ufuk senja kau menulis beberapa bait. Entah, apa yang kau utarakan di setiap goresan senjamu waktu itu. Aku tak dapat meliriknya. Satu huruf pun mataku tak sanggup menjangkau setiap tetesan tintamu. Kau yang sedang duduk di sana, menatap jauh di awan jingga. Sedang apakah gerangan dirimu? Kenapa memandangiku seperti itu? Adakah yang salah denganku? Kau hanya bisa melemparkan senyum termanismu. Senyum yang selalu terbalut dengan dua lesung pipi yang melingkar indah. Dirimu bagaikan rumpun ilalang yang tumbuh beranak pinak. Kau telah mengakar di setiap sudut-sudut kedamaianku. Kau telah mengisi dengan setetes nektar di rongga-rongga tak bertulang. Kau tahu apa artinya? Dirimu sudah meracuni hatiku yang beku. Setiap hari kau memberiku satu sendok nektar sampai nektar-nektar itu memenuhi ruang hampa itu.
Tak bosan diriku mengunyah setiap rumpun ilalang yang kau sodorkan padaku. Kau tahu kenapa? Ya, karena kau terlalu berarti bagiku.
“Terima kasih sudah menjadi pengisi lipur laraku,” ucapku malam itu.
Sudah hal lumrah kau selalu memberikan respon yang di awali dengan senyum mengembang.
“Sudah seharusnya aku menghibur orang yang aku sayangi. Hal terbodoh yang aku lakukan jika membiarkanmu larut dalam kesedihan,” akumu sembari menatapku dengan matamu yang berkilau.
“Maukah kau berjanji satu hal padaku?” pintaku tak melepaskan pandaganku
“Apa itu?” tanyamu dengan raut penasaran
“Maukah kau bersanding denganku di pelaminan nanti?” tanyaku dengan hati getar-getir. Takut kau memalingkan muka dan berkata TIDAK.
Sedikit aku ragu melihat perubahan raut mukamu. Senyummu yang selalu kau pamerkan di depanku menghilang entah kemana. Kau menunduk sejenak. Berpikir jawaban apa yang akan kau berikan padaku.
“Tentu aku mau,” janjimu memecah keraguanku. Tuhan terima kasih atas jawaban ini, ucapku membatin.
Sejak itu, rumpun ilalang dan nektar-nektar itu kau sajikan begitu apik. Berharap tak akan layu dan berubah rasa.
Suatu hari kau pamit padaku.
“Mas, aku ingin menemui orang tuaku yang ada di kampung. Mengabari rencana kita,” ujarmu saat itu
“Aku bisa mengantarmu jika kau menghendaki, bukankah aku memang harus bertemu dengan orang tuamu?”
“Tidak usah mas, nanti saya akan kabarkan kapan mas bisa bertandang ke rumah,” tolakmu dengan halus.
Kurelakan kau pergi. Menunggu kepastian kapan aku bisa meminangmu dan memintamu kepada orang tuamu. Rinduku selalu kutitipkan pada kicauan burung yang gemersik di antara rumpun bambu. Derai-derai hujan bersenandung ria di puncak malam. Menguak sejuta rasa. Dalam pembaringan kulihat dirimu tergopoh-gopoh menghampiriku. Ada apa gerangan dirimu? Berlari di tengah hujan lebat membawa selembar kertas. Apa arti semua ini? Aku terbangung. Memandangi di sekitarku. Tak ada. Kau tak ada di sini. Cuma mimpi.
Senja itu, di atas cakrawala persis di saat kau menulis seuntai bait-bait yang tak pernah kutahu apa isinya. Secarik kertas kuterima dari seseorang yang tak kutahu namanya. Mataku terperanjat membaca kalimat-kalimat itu. Inikah arti mimpi semalam?.
'Atas nama cinta, relakan aku untuk bersanding dengan pilihan orang tuaku. Maaf, aku tak bisa merajut cinta yang pernah kita susun bersama'. Sepenggal kalimat itu menggetarkan seluruh nadiku. Menghentikan peredaran darahku. Walau diakhir suratmu kau berkata 'Aku masih sayang kamu mas, tapi ini takdir hidupku yang harus aku terima'. Cinta yang kau sematkan dalam surat itu tak mampu melerai butiran-butiran air meluncur di pelupuk mataku. Mereka beradu seakan tak rela melihatmu duduk berdampingan dengan orang lain. Biarlah rumpun ilalang itu tetap mekar. Biarlah Nektar itu tetap menetes. Menjadi saksi bahwa aku tak pernah melupakanmu.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Bagus banget tuh... Ini blog kamu xa? Temanya yg diatas kan?

Unknown mengatakan...

Iya ini blogQ :)