Sunyi.
Gelap. Bagaikan ruangan kosong kedap suara yang tak bercahaya. Lemah tubuh ini
melawan kerasnya kehidupan yang harus kujalani. Semua terdiam. Membisu. Menutup
telinga. Tak pernah menyentuhku. Seolah terasingkan dari keramaian dunia. Tak pernah sekalipun aku merasakan keindahan
taman. Harumnya bunga mawar. Tak ada yang bisa kurasakan. Tubuhku seperti mayat
hidup. Rohku entah kemana melalangbuana.
Hanya
ruangan berukuran 4 x 5 m yang menjadi saksi cerita pahitku. Dan seorang yang
tidak kukenal rupanya seperti apa. Tapi, dari caranya menyentuhku aku yakin dia
seorang perempuan. Setiap hari dia memandikan tubuhku. Menyisir rambutku.
Menyuapiku. Entah siapalah dia. Sedikit harapan yang terbesit olehku. Masih ada
yang mau berbagi denganku. Sedikit mengobati kesendirianku. Awalnya aku pikir
dia wanita yang selalu mengajakku bermain di taman dulu. Awalnya aku pikir dia
wanita yang selalu membelikan bunga mawar di setiap aku ulang tahun. Bukan.
Bukan dia. Aku tahu bagaimana lembutnya tangannya ketika dia membelaiku. Aku
tahu seperti apa aroma tubuhnya. Perempuan yang selalu keluar masuk kamarku
tidak selembut tangannya dan aromanya pun berbeda. Dari situlah aku tahu kalau
perempuan itu bukan Dia.
Tiga
tahun yang lalu sebuah kecelakaan fatal menimpaku. Badanku yang kecil terjatuh
dari lantai dua rumah. Waktu itu kakiku tergelincir waktu menuruni anak tangga
dan tidak bisa menahan tubuhku, akhirnya aku jatuh dan “Praaaak”. Tidak
sadarkan diri. Dari situlah awal semua penderitaanku. Dokter memvonis aku tidak
bisa melihat, berbicara dan berjalan. Akibat benturan itu, urat-urat syarafku
terputus dan mengakibatkan semua penyakit itu mampir di kehidupanku.
Wanita
yang kukenal dulu lembut dan penuh kasih sayang berubah menjadi wanita yang tak
peduli sama sekali seiring perubahan yang kualami. Mama jadi dingin. Sekalipun
dia tidak pernah mencoba untuk masuk ke kamarku. Tidak pernah menyentuh
tubuhku. Dan, mungkin tidak pernah menanyakan kabarku.
Dulu
sebelum kejadian itu terjadi, mama sering mengajakku jalan-jalan ke taman
setiap minggu. Memetik bunga mawar yang berjejeran di taman itu sampai-sampai
penjaga taman mengejar-ngejar kami karena sebenarnya pengunjung taman dilarang
mengambil apapun dari taman termasuk bunga mawar itu.
Teringat
kembali dalam memoriku masa-masa indah itu yang sempat mati dalam kubangan
nestapa. Ingin aku berlari-lari di taman itu. Tidak mungkin. Ini hanya mimpi.
Semua kegalauan menyatu dalam heningnya malam itu.
Mama
seolah-olah tidak mengenaliku dan tidak pernah menganggap keberadaanku. Fisikku
yang berbeda dengan anak-anak normal lainnya mengubur semua mimpiku untuk
selalu bersama mama dan membahagiakannya. Aku yang berbeda tidak mampu untuk
berkata banyak. Keterbatasanku telah mengurungku. Rasanya ingin memberontak.
Tidak adil pikirku. Takdir. Apakah ini yang disebut takdir?. Apakah ini jalan
Tuhan untukku?. Apakah masih ada secuil doa yang bisa aku pinta? Jika iya,
tolong pertemukan aku dengan mama yang dulu. Aku kangen dengan belaian mama Tuhan.
Kangen dengan senyum mama. Kangen dengan sentuhan mama. Kangen dengan suara
mama. Aku kangen dengan semua itu Tuhan. Apa yang harus kulakukan untuk
memanggil mama kembali kepadaku.
###
Pagi ini, perempuan yang selalu
bolak balik ke kamarku mengantarkan sarapan. Dia membuka jendela. Aku tahu itu
karena aku bisa merasakan hembusan angin pagi menyentuh badanku. Kuambil sebuah
kertas yang sudah kuhapal dimana letakknya. Diikuti pulpen yang berada tidak
jauh dari kertas itu. Meski aku tidak bisa melihat tapi aku masih bisa menulis.
Entah tulisanku jelek atau tidak yang jelas tulisanku bisa di baca. Aku sudah
tahu huruf-huruf alfabet sejak berumur tiga tahun. Jadi, aku sudah tahu
bagaimana bentuk A B C dan seterusnya sampai huruf Z. “Mama mana”?. Kusodorkan
kertas itu kepada perempuan itu. Beberapa detik perempuan itu membisu sampai
akhirnya berkata “Nyonya sudah berangkat kerja pagi-pagi sekali tadi”. Huft,
jawaban yang sama selalu dia ucapkan ketika kupertanyakan ‘dimana mama’. Bosan
dengan jawaban-jawaban itu. Kuambil kembali kertas itu “Mama tidak pernah
menanyakan kabarku”?. Tanyaku lagi di atas kertas yang sama. Perempuan itu
diam. Bukan beberapa detik. Tapi, beberapa menit. “Tadi pagi, nyonya sempat
menanyakan kabar non”. Hanya mengangguk. Itulah reaksiku. Bukannya aku
mengangguk karena percaya, tapi aku mengangguk karena lelah dengan
kebohongan-kebohongan itu. Aku tahu kalau perempuan itu cuma berbohong. Dia
tidak ingin melihat aku larut dalam kesedihan kalau aku tahu mama tidak pernah
menanyakan perkembanganku.
Pagi begitu lambat berlalu. Terasa
lama bagiku. Hanya berbaring di tempat ini setiap hari. Bosan. Sakit kepala dan
sebagainya. Suara-suara jangkrik itu membuyarkan lamunanku. Suara jangkrik
menandakan malam sudah tiba. Begitulah caraku membedakan antara pagi dan malam.
Meski kedengarannya konyol sih karena suara jangkrik bisa saja terdengar kalau
pagi.
Dari balik ruangan 4 x 5 itu,
kudengar mama dan papa bertengkar hebat. Tak jelas apa yang mereka
pertengkarkan. Samar-samar suara mereka. Sempat aku menangkap satu kata dan
jelas sekali mama mengucapkannya. ‘Rani’. Ya.. mama menyebutkan namaku begitu
jelas. Dari situlah aku mengambil kesimpulan kalau mereka sedang
membicarakanku. Entah apa yang mereka bicarakan. Kucoba untuk mendekat di balik
pintu dengan menggunakan kursi roda yang letakknya tidak jauh dari tempat
tidur. Bi Mina sebutan untuk perempuan itu memang sengaja meletakkan kursi roda
di dekat tempat tidur supaya aku bisa meraihnya dengan mudah.
“Mama
mau Rina kita titipkan di panti asuhan. Mama malu pa kalau teman-teman mama
tahu keadaan Rina yang sebenarnya”. Sangat keras suara mama mengucapkan kalimat
itu.
“Papa
tidak setuju. Walaupun papa juga tidak mau memunculkan Rina di depan
rekan-rekan kerja papa, tapi panti asuhan bukan pilihan yang tepat ma”.
“Jadi
di mana kita harus titipkan Rina. Teman-teman mama seminggu lagi mau datang ke
sini”. Mama bertanya kepada papa
Hening.
Tidak ada suara lagi yang keluar dari mulut mereka.
“Di
rumah nenek saja” Usul papa membelah keheningan itu
Di balik pintu aku merasa sakit
sekali. Hatiku terasa teriris sembilan pisau tajam. Orang tua yang dulu amat
menyayangiku, kini mau membuangku dari kehidupan mereka. Mereka malu?. Malu
karena?. Karena fisikku?.
###
Hari ini, Bi Mina mengantarku ke
rumah nenek. Mama dan papa tidak ikut mengantar karena kesibukan mereka. Tidak
habis pikir bagiku. Mereka membiarkan aku pergi tanpa meninggalkan pesan apa
pun. Beruntung nenek menerima kehadiranku di rumah kayu sederhananya dengan
tangan terbuka. Nenek tinggal sendiri sejak satu tahun lalu ditinggal kakek. Di
sini kebahagiaan tersendiri aku dapatkan. Aku bisa merasakan nasi goreng buatan
nenek setiap pagi. Teh hangat yang selalu nenek buat untukku ketika musim
hujan.
Dua tahun berlalu. Tak ada kabar
dari mereka. Hanya bi Mina yang sekali-kali datang kemari mengantarkan uang
bulanan. Setelah itu pergi dan kembali mengabdi di majikannya. Sampai suatu
hari aku kembali di vonis oleh dokter. Leukimia. Mama dan Papa tidak tahu. Aku
melarang orang lain untuk memberitahukan hal ini kepada mereka. Aku
merahasiakan ini pada mereka.
Suatu malam. Rasa sakit yang
merembes sampai ke sendi-sendi tulangku membuatku merasakan sakit yang luar
biasa. Kupikir ini adalah detik-detik terakhirku. Aku sedih. Mama dan papa
tidak ada disampingku. Aku ingin memeluk mereka. Mencium kening mereka.
Membahagiakan mereka. Walaupun selama ini mama dan papa tidak pernah
menganggapku ada. Aku tetap sayang. Aku tetap menganggap mereka adalah orang
tua yang paling hebat. Tak ada rasa dendam sedikitpun yang terlintas di
benakku.
Hari Selasa. Hari terakhirku
menghirup segarnya udara pagi. Penyakit leukemia mengalahkan kekuatanku untuk
tetap bertahan. Sampai nafas terakhirku, mama dan papa tidak pernah muncul.
Mereka benar-benar sudah meniadakanku dari hidup mereka. Sempat aku menulis
surat dan menitipkan pada nenek untuk disampaikan kepada mama dan papa. Dalam
surat itu aku menulis
“Ma, pa yang Rina sayangi. Mungkin ini adalah
surat pertama dan surat terakhirku untuk mama dan papa. Tak akan ada lagi
surat-surat berikutnya. Dan mungkin ini adalah kabar pertama dan terakhir yang
bisa kuberitahukan pada mama dan papa.
Ketika membaca surat ini, mungkin Rina sudah melakukan perjalanan jauh
dan tidak akan pernah kembali. Rina cuma mau bilang kalau Rina sayang mama dan
papa. Rina kangen mama papa. Terima kasih atas semua kenangan indah yang pernah
mama dan papa berikan pada Rina. Terima kasih ma’ atas jalan-jalannya di taman
dan bunga mawarnya. Terima kasih pa’ atas perhatian papa selama ini. Meski
terasa singkat, tapi Rina akan mengingat semua itu. Akan kukenang masa-masa
itu. Akan kubawa cerita itu dalam perjalanan yang sedang kujalani sekarang.
Satu permintaan terakhirku ma’ pa’. Lihat aku sekali lagi. Lihat aku untuk yang
terakhir kalinya. Kutunggu kedatangan mama dan papa di pusaranku. Terima kasih
ma’ pa’. Aku selalu menyayangi kalian”
Kututup ceritaku dengan kedatangan
mama dan papa di pusaranku. Memenuhi permintaan terakhirku. Betapa bahagianya
aku melihat mama dan papa sudah bisa menerima anaknya yang tidak sempurna ini.
Setidaknya mama dan papa masih menganggapku anak mereka. Dari atas sini selalu
kupancarkan kebahagiaan bagi anak-anak yang memiliki keterbatasn. Keterbasan
yang kita miliki jangan sampai menghilangkan cinta dalam diri kita. Semuanya
karena cinta. Sekali lagi aku mencintai kalian. Aku menyayangi kalian mama dan
papa ku tersayang.